Product Description

Dialektika Bung Karno

Menelusuri Akar Pemikiran, Pertarungan Gagasan, dan Jejak Ideologis Sang Proklamator

Bung Karno bukan hanya seorang orator ulung, proklamator bangsa, atau presiden pertama Republik Indonesia. Ia adalah pemikir besar dengan nyala intelektual yang menyala jauh sebelum republik ini berdiri, dan terus bergolak bahkan setelah ia tak lagi memegang kekuasaan. Buku Dialektika Bung Karno hadir bukan untuk mengagung-agungkan sosok, melainkan untuk membongkar dan merangkai kembali dialektika pemikiran Bung Karno — dari masa muda hingga bayangan kontemporer: bagaimana jika ia memimpin Indonesia di era digital?

Buku ini terdiri dari 25 bab yang disusun secara tematik-kronologis, dimulai dari masa remaja Soekarno di Surabaya, hingga pergulatannya dengan para tokoh besar lintas ideologi, agama, dan strategi perjuangan. Setiap bab bukan sekadar narasi sejarah, tetapi sebuah ruang pembacaan ulang terhadap gagasan, nilai, dan kontradiksi yang membentuk Soekarno sebagai pemimpin dan pemikir bangsa.

Bab 1 sampai 5 menggambarkan awal mula pergulatan intelektual Bung Karno. Di Surabaya, ia tinggal di rumah H.O.S. Tjokroaminoto, tokoh besar Sarekat Islam, yang membuka matanya pada dunia politik, Islam progresif, dan pentingnya artikulasi ide. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS), tempat ia menyerap ilmu teknik modern sekaligus menyusun dasar-dasar ideologinya. Di sinilah ia merumuskan Marhaenisme — sebuah ideologi pembebasan khas Indonesia, yang menolak kapitalisme, komunisme ortodoks, dan feodalisme, dan menempatkan rakyat kecil sebagai pusat perjuangan nasional.

Bab 6 membahas bagaimana Bung Karno memandang Islam bukan sekadar keyakinan spiritual, melainkan kekuatan pembebasan sosial. Ia melihat Nabi Muhammad SAW sebagai tokoh revolusioner yang mengubah tatanan sosial jahiliyah menjadi masyarakat adil dan berkeadaban. Islam, dalam pandangannya, adalah kekuatan moral-politik yang dapat menopang perjuangan bangsa melawan kolonialisme.

Bab 7 hingga 9 menyusuri sikap Bung Karno terhadap kolonialisme Belanda dan Jepang. Ia mengecam keras penjajahan dalam segala bentuknya dan memperjuangkan kemerdekaan dengan strategi politik yang cerdas. Penjara Sukamiskin menjadi saksi bisu perjuangan ideologisnya, ketika ia menulis pidato legendaris "Indonesia Menggugat" — yang tidak hanya membela dirinya di hadapan hukum kolonial, tetapi juga menjadi pernyataan politik bangsa terjajah.

Bab 10 mengulas tokoh-tokoh yang dikagumi Bung Karno. Di urutan pertama adalah Nabi Muhammad SAW, yang ia sebut sebagai pemimpin paripurna: bijaksana, visioner, dan revolusioner. Bung Karno mengagumi Rasulullah sebagai figur yang memadukan wahyu dan akal, spiritualitas dan tindakan sosial. Di samping itu, ia juga mengagumi Mahatma Gandhi karena perjuangan tanpa kekerasannya, Karl Marx karena analisisnya terhadap ketimpangan sosial, Sun Yat Sen karena keberhasilannya memodernisasi Tiongkok, dan para tokoh nasional seperti Tjokroaminoto dan Tan Malaka karena semangat kerakyatan dan ideologis mereka.

Bab 11 sampai 24 menjadi jantung utama buku ini. Di sinilah ditampilkan dialektika Bung Karno dengan tokoh-tokoh besar lainnya: baik yang menjadi kawan seperjuangan, lawan debat, maupun mitra ideologis yang kompleks. Relasi Bung Karno dengan Tjokroaminoto menunjukkan sintesis antara Islam politik dan nasionalisme. Dialektikanya dengan Ahmad Hassan memunculkan perdebatan keras tentang posisi agama dan rasionalitas dalam perjuangan bangsa. Couw Ting Gian dan komunitas Tionghoa progresif memberi pengaruh penting dalam wacana multikulturalisme Indonesia.

Dengan Tan Malaka dan Muso, perbedaan ideologis antara nasionalisme dan komunisme menjadi sangat tajam. Sementara itu, dengan KH Agus Salim, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Hatta, Bung Karno berbagi satu tujuan: Indonesia merdeka, tetapi melalui jalan yang kerap kali berbeda secara taktis dan prinsipil.

Bab 20 hingga 24 mengungkap dialektika Bung Karno dengan para tokoh yang mewakili spektrum ideologi dan kultural bangsa Indonesia. Dengan Kartosuwiryo, pertarungan antara nasionalisme dan Islamisme berlangsung tragis. Dengan Jenderal Sudirman, ia menunjukkan tarik ulur antara strategi politik dan idealisme perjuangan. Dengan AR Baswedan, Ki Hajar Dewantara, dan Buya HAMKA, muncul sintesis antara Islam kultural, pendidikan kerakyatan, dan nasionalisme kebangsaan.

Bab 25 menjadi refleksi kontemporer yang menarik: bagaimana jika Bung Karno hadir di era digital? Apakah ia akan menjadi pemimpin viral? Apakah ia memanfaatkan media sosial sebagai mimbar perjuangan? Bab ini tidak menawarkan jawaban pasti, tapi membuka ruang renungan tentang relevansi pemikiran Bung Karno dalam konteks zaman yang terus berubah.

Buku ini tidak sekadar menyajikan sejarah. Ia adalah refleksi ideologis dan percikan semangat kepemimpinan. Ia penting dibaca oleh siapa pun yang ingin memahami akar kebangsaan Indonesia, pergulatan pemikiran pendiri bangsa, dan inspirasi kepemimpinan visioner yang dibutuhkan hari ini. Buku ini mengajak pembaca untuk tidak berhenti pada nostalgia, melainkan menjadikan pemikiran Bung Karno sebagai sumber keberanian berpikir, bersikap, dan bertindak dalam merawat republik.

Dengan pendekatan naratif-reflektif, buku ini cocok dibaca oleh mahasiswa, dosen, guru, aktivis, birokrat muda, dan siapa pun yang merindukan diskursus kebangsaan yang dalam, jujur, dan kontekstual. Sebuah karya yang tidak hanya memberi pengetahuan, tapi juga keberanian untuk berpikir kritis di tengah kebisingan zaman.

Product Advantages

  • Memahami betapa sulitnya melawan penjajah Belanda dan Jepang

Who Should Buy This Product ?

  • Semua masyarakat Indonesia yang masih peduli dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia

Requirements

  • Membaca